Jawa Barat punya sebuah legenda, yaitu cerita Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Mau tahu cerita lengkapnya? Yuk, simak di sini.
Asal Muasal Cerita Sangkuriang dan Dayang Sumbi
Dahulu kala, di kahyangan, ada sepasang dewa dan dewi yang berbuat kesalahan besar. Oleh Sang Hyang Tunggal, mereka dihukum turun ke bumi dalam bentuk hewan. Sang dewi berubah menjadi babi hutan bernama Celeng Wayung Hyang, sementara sang dewa berwujud anjing bernama Si Tumang. Mereka harus menjalankan hukuman dan bertapa agar dapat kembali menjadi dewa-dewi.
Di dunia manusia, Raja Sungging Perbangkara pergi berburu. Saat raja itu membuang air seni yang tertampung dalam daun caring, Celeng Wayung Hyang, dalam bentuk babi hutan, kehausan, meminum air seni raja itu tanpa sengaja. Sang dewi hamil ajaib dan melahirkan bayi cantik, Dayang Sumbi, yang dibawa pulang oleh raja. Dayang Sumbi tumbuh menjadi gadis jelita. Meskipun banyak raja dan pangeran yang ingin menikahinya, Dayang Sumbi menolak mereka semua.
Suatu hari, para raja terlibat perang karena Dayang Sumbi, dan ia memutuskan mengasingkan diri di sebuah bukit. Saat tengah menenun kain, torompong (torak) yang digunakan untuk menenun jatuh. Tanpa berpikir, Dayang Sumbi berjanji menikahi siapa pun yang mengambilkan torak itu. Si Tumang, yang mengenali Dayang Sumbi sebagai cucunya, mengambilkan torak tersebut. Akibat janji itu, Dayang Sumbi menikahi Si Tumang.
Lahirnya Sangkuriang
Cerita Sangkuriang dan Dayang Sumbi berlanjut. Dari hasil pernikahan dengan Si Tumang, lahirlah Sangkuriang. Putra mereka tumbuh menjadi pemuda tampan dan kuat. Suatu hari, Dayang Sumbi menginginkan hati menjangan. Sangkuriang pergi berburu dengan Si Tumang, tetapi tanpa hasil.
Saat melihat babi hutan gemuk, Sangkuriang memerintahkan Si Tumang mengejar hewan itu, yang tanpa disadari adalah Celeng Wayung Hyang, nenek Sangkuriang. Namun, Si Tumang menolak membunuhnya karena mengenali celeng itu. Kesal, Sangkuriang menembak Si Tumang dan membunuhnya.
Ketika Sangkuriang pulang, ia memberi hati Si Tumang kepada Dayang Sumbi. Saat mengetahui kebenaran, Dayang Sumbi marah dan memukul Sangkuriang dengan centong. Sangkuriang melarikan diri, dan meskipun Dayang Sumbi mencarinya dan memohon agar kembali, ia pergi jauh. Dayang Sumbi merindukan anaknya dan memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar mereka dipertemukan lagi.
Sangkuriang Jatuh Cinta dengan Ibunya
Sementara itu, cerita Sangkuriang dan Dayang Sumbi berlanjut dengan pertemuan kembali keduanya setelah Sangkuriang menjelajahi dunia dan menjadi ksatria sakti. Sesudah beberapa tahun, ia kembali ke tempat tinggalnya, tanpa menyadari bahwa ia berada di dekat ibunya. Dayang Sumbi, yang tetap cantik berkat tapa dan laku, tidak mengenali putranya. Mereka berdua saling jatuh cinta.
Namun, saat mereka dekat, Dayang Sumbi melihat bekas luka di kepala Sangkuriang. Ia menyadari bahwa itu adalah anaknya yang hilang. Meskipun tahu kebenaran, Sangkuriang tetap memaksanya menikah. Dayang Sumbi menciptakan syarat tak mungkin agar Sangkuriang gagal. Ia meminta perahu dan danau dalam semalam.
Terciptanya Gunung Tangkuban Perahu dan Sungai Citarum
Sangkuriang setuju dan membangun perahu dan bendungan, dibantu oleh para makhluk gaib. Namun, Dayang Sumbi memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar niat Sangkuriang tidak terwujud. Ia membentangkan kain putih yang bersinar di ufuk timur dan menakut-nakuti makhluk gaib. Mereka meninggalkan pekerjaan dan pergi.
Sangkuriang marah dan menendang perahunya hingga jatuh terbalik, menjadi Gunung Tangkuban Perahu. Dinding bendungan di barat pecah dan membentuk Sungai Citarum. Sangkuriang kemudian mengejar Dayang Sumbi, yang berubah menjadi bunga jaksi. Sangkuriang tetap tak mengenalinya, dan Dayang Sumbi berubah menjadi gunung untuk menyelamatkan diri.
Ketika Sangkuriang menyadari kehilangannya, ia pergi meninggalkan tempat itu, mengembara ke alam gaib. Sementara Dayang Sumbi, yang menyesali perbuatannya, terus hidup sebagai bunga jaksi, merindukan anaknya yang telah hilang.
Makna di Balik Cerita
Cerita Sangkuriang dan Dayang Sumbi menjadi cerita tentang kesalahan, takdir, dan pengorbanan, yang terukir dalam sejarah Gunung Tangkuban Perahu hingga saat ini.