Apakah kamu pernah mendengar cerita rakyat Malin Kundang dari daerah Sumatera Barat? Cerita ini selalu dihubungkan dengan kisah anak yang durhaka yang dikutuk oleh ibunya menjadi batu. Malin Kundang menolak untuk mengakui ibunya setelah dia menjadi saudagar yang sukses. Maka, jika ada anak yang durhaka pada orang tua, orang-orang menjuluki anak tersebut seperti Malin Kundang.
Seperti apa cerita Malin Kundang ini? Yuk, simak kisah Malin Kundang selengkapnya di bawah ini.
Awal Cerita Malin Kundang
Inilah awal cerita Malin Kundang. Dahulu kala, di sebuah dusun nelayan yang terletak di pinggir laut, terdapat sebuah desa nelayan yang terhampar indah di Air Manis, Sumatra Barat. Di desa ini, hiduplah seorang bocah laki-laki yang bernama Malin Kundang. Dia tinggal bersama ibunya yang penuh kasih, Mande Rubayah.
Kasih sayang Mande Rubayah kepada Malin sungguh luar biasa. Malin pun tumbuh menjadi seorang anak yang patuh pada ibunya, juga rajin. Kehidupan mereka tidak selalu mudah, dan akhirnya sang ayah memutuskan untuk merantau melintasi lautan demi mencari nafkah bagi keluarga.
Namun, sang ayah tidak pernah kembali, meninggalkan Mande Rubayah sendirian. Ibu ini membesarkan Malin dengan penuh dedikasi, meskipun harus menjual kue demi memenuhi kebutuhan mereka. Suatu hari, Malin jatuh sakit parah, dan ibunya dengan gigih berjuang untuk menyelamatkannya.
Berkat ketekunan ibunya, Malin berhasil sembuh. Ikatan kasih sayang di antara mereka semakin kuat. Mande Rubayah sering mengajak Malin berkeliling (dibawa ke mana-mana). Oleh karena itu, Malin diberi julukan “Malin Kundang.”
Malin Kundang Berkeinginan Menjadi Orang Kaya
Cerita Malin Kundang seterusnya berkisah tentang keinginan Malin Kundang. Malin tumbuh menjadi pemuda cerdas dan berani, meskipun sedikit nakal. Terkadang, dia suka mengejar ayam dan memukul mereka dengan sapu. Suatu hari, saat Malin mengejar ayam, dia terjatuh dan melukai tangannya. Luka itu meninggalkan bekas yang terlihat di lengannya.
Mereka hidup dalam keterbatasan, dan ketika Malin menjadi dewasa, ia memutuskan untuk mencari peruntungan di negeri lain. Dia bermimpi bahwa ketika ia kembali ke kampung halamannya, dia akan menjadi seorang saudagar kaya.
Malin terpikat oleh ajakan seorang nahkoda kapal dagang yang dulunya miskin dan sekarang telah menjadi kaya raya. Dengan tekad yang kuat, Malin meminta izin kepada ibunya.
Saat Malin berbicara tentang niatnya, awalnya ibunya tidak setuju. Ibu Mande tidak tega melepaskan anak kesayangannya. Dia takut Malin akan pergi seperti ayahnya yang tidak pernah kembali. Tetapi karena Malin sangat memaksa, akhirnya ibunya memberikan restu.
“Anakku, jika suatu hari kamu berhasil dan menjadi kaya, jangan lupakan ibumu dan kampung halamanmu, Nak,” pesan ibunya.
Penantian Ibu Mande Rubayah
Setelah Malin pergi, hari-hari Mande Rubayah terasa lama. Dia selalu menunggu di pantai dan berdoa agar anaknya selamat dalam perjalanannya.
Cerita tentang Malin Kundang di perantauannya tak pernah didengar oleh Mande Rubayah, sehingga ia selalu bertanya tentang kabar Malin setiap kali ada kapal besar yang datang. Namun, tidak ada jawaban yang memuaskan dari nahkoda dan awak kapal. Malin tidak pernah mengirim pesan.
“Ibu sudah tua, Malin. Kapan kamu akan pulang?” bisik Mande Rubayah setiap malam. Namun, Malin tidak kunjung pulang.
Sukses dan Kembali ke Kampung Halaman
Cerita Malin Kundang di perantauan ternyata berbuah manis. Berkat kerja keras dan ketekunannya dalam belajar, ia akhirnya menjadi saudagar kaya raya dan memiliki kapal besar. Ia pun akhirnya menikahi seorang puteri saudagar kaya.
Suatu hari, Malin Kundang dan istrinya kembali ke kampung halamannya. Desa mereka menyambut kedatangan kapal besar dengan suka cita. Ibu Mande yang berada di pantai melihat sepasang suami istri berdiri di atas dek kapal.
Malin Tidak Mengakui Ibunya
Mande Rubayah yakin bahwa mereka adalah anaknya yang sudah lama pergi beserta istrinya. Saat mendekati kapal, ia melihat bekas luka di lengan sang pemuda dan yakin bahwa itu adalah Malin. Ia memeluk Malin dengan penuh kasih sambil bertanya tentang kabarnya. Istri Malin terkejut mendengar pengakuan ibunya.
“Inikah ibumu? Mengapa dulu kamu berbohong padaku?” tanya istri Malin sinis. “Bukankah ibumu seorang bangsawan yang setara dengan keluargaku,” ujarnya lagi.
Namun, Malin tidak mengakui ibunya. Ia bahkan mendorong ibunya hingga terjatuh.
“Perempuan tidak tahu diri ini, mengaku sebagai ibuku,” Ujar Malin kepada ibunya. Malin berpura-pura tidak mengenal ibunya, malu melihatnya yang sudah tua dan berpakaian layaknya orang miskin.
Mande Rubayah yang mendengar perkataan anaknya menjadi sangat sedih dan marah. Ia jatuh ke pasir dan berkata, “Malin, anakku, mengapa kau jadi begini?”
Namun, Malin tidak mengakui ibunya dan memerintahkan istri dan anak buahnya untuk segera kembali ke kapal.
Ibu Mande Mengutuk Anaknya
Sang ibu yang merasa tersakiti dan marah, berlutut di pantai dan berdoa, “Ya Allah Yang Maha Kuasa, jika anak ini adalah benar-benar anakku, aku mohon keadilan-Mu.”
Badai besar tiba-tiba mengguncang kapal Malin Kundang yang hancurkan seluruh kapalnya. Serpihan kapal itu berubah menjadi batu karang, termasuk sosok Malin Kundang yang berlutut di atasnya. Tubuh Malin Kundang yang dikutuk oleh ibunya berubah menjadi batu.
Pesan Dongeng Malin Kundang
Demikianlah cerita Malin Kundang yang durhaka terhadap ibunya. Pesan yang bisa diambil adalah, jangan pernah lupakan kasih sayang dan pengorbanan orangtua, baik dalam keadaan senang maupun susah.